
LIFO: Strategi Manajemen Persediaan untuk Kendalikan Margin di Tengah Lonjakan Harga
Ibu Nadia, manajer operasional di sebuah perusahaan FMCG nasional, menatap laporan stok dengan rasa was-was. Harga minyak goreng naik dua kali dalam sebulan, sementara penjualan di ritel modern harus tetap kompetitif. Persediaan lama masih menumpuk di gudang, tapi pemasok baru saja mengirim batch terbaru dengan harga yang jauh lebih tinggi. Jika ia salah strategi mengeluarkan stok, HPP akan melonjak, margin menyusut, dan pajak perusahaan ikut membengkak. Dalam rapat tim keuangan, seorang staf menyarankan metode yang jarang mereka terapkan: LIFO, atau Last In, First Out.
Di dunia bisnis FMCG, fluktuasi harga bukan sekadar tantangan, tapi realitas sehari-hari. Metode LIFO, yang mengutamakan penjualan stok terbaru terlebih dahulu, sering dianggap sebagai cara untuk menyelaraskan biaya barang dengan harga jual terkini. Namun, di balik potensi manfaatnya, metode ini juga menimbulkan konsekuensi besar terhadap pencatatan keuangan dan kepatuhan regulasi.
Artikel ini akan membahas apa itu LIFO, mengapa beberapa perusahaan menganggapnya “strategi senyap” untuk mengendalikan margin saat harga meroket, serta alasan mengapa penggunaannya dibatasi di Indonesia. Dengan memahami logikanya, Anda dapat menilai apakah metode ini hanya sekadar teori atau justru menjadi alat manajemen persediaan yang layak dipertimbangkan di bisnis Anda.
Daftar isi

Apa itu LIFO (Last In, First Out)?
Bagi Ibu Nadia, istilah LIFO terdengar asing. Namun, secara konsep sebenarnya sederhana: barang yang terakhir masuk gudang akan menjadi yang pertama dijual atau digunakan. Artinya, jika gudang menerima pasokan dengan harga baru yang lebih tinggi, maka harga tersebut yang akan dipakai sebagai acuan dalam menghitung Harga Pokok Penjualan (HPP).
Berbeda dengan metode FIFO (First In, First Out) yang mengutamakan stok lama untuk dikeluarkan terlebih dahulu, LIFO membalik urutannya. Tujuan utamanya adalah menyesuaikan biaya barang dengan harga pasar terkini. Dalam situasi harga terus naik, seperti yang dihadapi Ibu Nadia di industri FMCG, LIFO dapat membuat HPP lebih tinggi sehingga laba kotor yang tercatat lebih rendah, dan pada akhirnya beban pajak ikut berkurang.
Namun, penerapan LIFO tidak hanya soal urutan barang keluar dari gudang. Metode ini berkaitan erat dengan sistem pencatatan persediaan, manajemen akuntansi, dan kepatuhan terhadap standar keuangan. Itulah sebabnya, meskipun menguntungkan dalam kondisi tertentu, LIFO tidak diizinkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia, yang mengikuti prinsip International Financial Reporting Standards (IFRS).
Mengapa Praktisi Bisnis Tertarik Menggunakan LIFO?
Bagi sebagian praktisi bisnis, LIFO bukan sekadar metode pencatatan persediaan, melainkan strategi untuk menghadapi fluktuasi harga yang tajam. Dalam kasus Ibu Nadia, harga minyak goreng yang terus naik membuat metode ini tampak menguntungkan. Ada beberapa alasan utama mengapa LIFO menarik perhatian pelaku usaha:
- Efisiensi Pajak
Dengan menggunakan harga terbaru yang lebih tinggi untuk menghitung HPP, laba kotor akan terlihat lebih rendah. Dampaknya, beban pajak penghasilan perusahaan bisa berkurang secara signifikan. Ini sering menjadi alasan utama perusahaan di negara yang memperbolehkan LIFO untuk mengadopsinya. - Pencatatan yang Lebih Relevan dengan Kondisi Pasar
Karena LIFO menggunakan harga pembelian terakhir, nilai HPP yang tercatat lebih sesuai dengan harga jual saat ini. Hal ini membantu perusahaan menjaga margin yang realistis, terutama saat inflasi. - Perlindungan dari Dampak Inflasi
Di industri dengan volatilitas harga tinggi, seperti FMCG, manufaktur, atau otomotif, LIFO membantu mengantisipasi penurunan daya beli akibat lonjakan harga bahan baku. - Kesesuaian untuk Analisis Internal
Walaupun tidak diperbolehkan untuk pelaporan resmi di Indonesia, LIFO kadang dipakai sebagai metode analisis internal untuk membuat simulasi dampak harga terhadap margin dan pajak.
Bagi Ibu Nadia, semua keuntungan ini terdengar menggoda. Namun, sebelum memutuskan untuk menerapkannya, ia perlu memahami risiko dan tantangan yang datang bersamaan dengan metode ini.
Tantangan dan Risiko Penerapan LIFO
Meski terlihat menjanjikan di atas kertas, LIFO tidak selalu mudah dan aman untuk diterapkan. Dalam kasus Ibu Nadia, ketika ia mulai berdiskusi lebih jauh dengan tim keuangan, beberapa hambatan langsung muncul ke permukaan:
- Tidak Diperbolehkan oleh Standar Akuntansi di Indonesia
Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang mengikuti IFRS, metode LIFO tidak diizinkan untuk pelaporan resmi. Artinya, meskipun digunakan secara internal untuk analisis, perusahaan tetap harus melakukan penyesuaian ke metode lain (seperti FIFO atau Average) saat membuat laporan keuangan yang diaudit. - Pencatatan Lebih Rumit
LIFO membutuhkan sistem pencatatan persediaan yang detail agar urutan masuk-keluar barang tetap akurat. Jika perusahaan masih menggunakan proses manual atau spreadsheet sederhana, risiko kesalahan data menjadi sangat tinggi. - Potensi Distorsi Nilai Persediaan
Karena stok lama cenderung jarang keluar, nilai persediaan di neraca bisa tidak mencerminkan harga pasar terkini. Ini bisa membingungkan pemangku kepentingan atau calon investor. - Risiko Keusangan Produk
Di industri seperti FMCG atau farmasi, stok lama yang tidak cepat dikeluarkan berisiko melewati tanggal kedaluwarsa, menyebabkan kerugian tambahan.
Bagi Ibu Nadia, risiko ini membuatnya berpikir dua kali. Menggunakan LIFO tanpa strategi pendukung yang kuat justru bisa menimbulkan masalah baru, baik secara operasional maupun finansial.
Contoh Perhitungan Sederhana LIFO
Untuk membantu timnya memahami efek LIFO, Ibu Nadia membuat simulasi sederhana. Misalnya, gudang FMCG miliknya mencatat transaksi sebagai berikut:
Tanggal Masuk | Jumlah Unit | Harga per Unit | Total Biaya |
---|---|---|---|
5 Januari | 100 unit | Rp10.000 | Rp1.000.000 |
20 Januari | 50 unit | Rp12.000 | Rp600.000 |
Di akhir bulan, perusahaan menjual 80 unit barang.
- Metode LIFO menganggap penjualan dimulai dari stok yang masuk terakhir, yaitu batch 20 Januari.
- Perhitungan HPP:
- 50 unit × Rp12.000 = Rp600.000
- 30 unit × Rp10.000 = Rp300.000
- Total HPP = Rp900.000
- Jika harga jual per unit adalah Rp15.000, maka:
- Pendapatan = 80 × Rp15.000 = Rp1.200.000
- Laba Kotor = Rp1.200.000 – Rp900.000 = Rp300.000
- Bandingkan jika menggunakan FIFO:
- HPP FIFO:
- 80 unit pertama diambil dari batch 5 Januari → 80 × Rp10.000 = Rp800.000
- Laba Kotor FIFO = Rp1.200.000 – Rp800.000 = Rp400.000
- HPP FIFO:
Hasilnya: LIFO membuat laba kotor tercatat lebih rendah (Rp300.000 vs Rp400.000), yang berarti beban pajak juga lebih kecil. Namun, hal ini juga bisa membuat laporan laba rugi terlihat kurang menguntungkan di mata investor atau kreditur.
Kapan LIFO Masih Patut Dipertimbangkan?
Meskipun tidak diizinkan untuk pelaporan resmi di Indonesia, Ibu Nadia menyadari bahwa LIFO masih bisa berguna dalam situasi tertentu, terutama untuk analisis internal dan perencanaan strategi keuangan. Beberapa skenario yang membuat LIFO layak dipertimbangkan adalah:
- Simulasi Dampak Inflasi
Perusahaan dapat menggunakan LIFO untuk memproyeksikan bagaimana lonjakan harga bahan baku memengaruhi HPP, margin, dan beban pajak. Ini membantu tim keuangan membuat skenario perencanaan yang lebih realistis. - Pengambilan Keputusan Harga Jual
Dengan mengetahui HPP berdasarkan harga terbaru, tim penjualan dapat menyesuaikan harga jual agar tetap menjaga margin meski biaya produksi meningkat. - Evaluasi Efisiensi Pajak di Negara atau Unit Usaha Luar Negeri
Jika perusahaan memiliki anak usaha di negara yang memperbolehkan LIFO, metode ini dapat dipakai untuk mengoptimalkan beban pajak di wilayah tersebut. - Analisis Kinerja Produk Tertentu
LIFO bisa digunakan secara terbatas untuk mengevaluasi produk dengan volatilitas harga tinggi, seperti komoditas pangan atau bahan kimia.
Namun, Ibu Nadia juga memahami bahwa penggunaan LIFO secara internal harus diimbangi dengan metode resmi seperti FIFO atau Average untuk pelaporan. Dengan begitu, perusahaan tetap patuh pada regulasi sambil mendapatkan manfaat dari analisis tambahan.
Alternatif yang Umum Dipakai di Indonesia
Setelah mempertimbangkan risiko dan regulasi, Ibu Nadia mulai mencari metode lain yang diizinkan oleh PSAK dan lebih mudah diimplementasikan. Dua metode yang paling umum digunakan di Indonesia adalah:
- FIFO (First In, First Out)
- Konsep: Barang yang masuk gudang terlebih dahulu akan dikeluarkan terlebih dahulu.
- Kelebihan:
- Mencerminkan aliran fisik barang yang logis, terutama untuk produk dengan masa simpan terbatas.
- Nilai persediaan di neraca lebih mendekati harga pasar terkini.
- Cocok untuk: FMCG, farmasi, dan industri makanan/minuman di mana kesegaran produk sangat penting.
- Average (Rata-rata Tertimbang)
- Konsep: Harga pokok barang dihitung berdasarkan rata-rata tertimbang dari semua pembelian yang ada di gudang.
- Kelebihan:
- Stabilkan fluktuasi harga, sehingga margin lebih konsisten.
- Perhitungannya lebih sederhana, terutama jika dibantu software akuntansi atau software ERP.
- Cocok untuk: Industri manufaktur, ritel, dan distribusi yang memiliki volume transaksi besar dengan variasi harga tinggi.
Bagi Ibu Nadia, kedua metode ini memberikan solusi yang legal dan praktis. FIFO memastikan barang lama tidak menumpuk di gudang, sementara Average membantu menjaga kestabilan margin meskipun harga bahan baku naik turun.
Kesimpulan
Job costing bukan hanya soal menghitung biaya secara detail, tetapi juga memastikan setiap proyek berjalan efisien, terukur, dan menghasilkan keuntungan optimal. Dengan memahami komponen biaya, tahapan proses, serta tantangan yang umum dihadapi, perusahaan dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan mengurangi risiko pemborosan. Implementasi sistem ERP yang terintegrasi akan membuat proses job costing semakin mudah, akurat, dan real-time.
Think Tank Solusindo siap membantu perusahaan Anda mengimplementasikan software ERP terbaik seperti SAP Business One, Acumatica, atau SAP S/4HANA untuk memaksimalkan efisiensi pengelolaan proyek dan perhitungan biaya. Dengan fitur yang mendukung pencatatan biaya, alokasi sumber daya, hingga analisis profitabilitas, tim Anda dapat memantau setiap proyek dengan lebih percaya diri.
💬 Hubungi kami hari ini untuk menjadwalkan demo gratis dan konsultasi bersama tim ahli kami. Bersama, kita bisa membuat sistem job costing di perusahaan Anda jauh lebih efektif dan siap mendukung pertumbuhan bisnis.
🗓️ Hubungi konsultan kami sekarang:
- 🖱️ Coba Demo Gratis: Klik di sini
- 📨 Email: info@8thinktank.com
- 📱 WhatsApp: +62 857-1434-5189

FAQ Seputar LIFO
Apa itu metode LIFO?
LIFO adalah metode penilaian persediaan di mana barang terakhir yang dibeli atau diproduksi akan dianggap sebagai barang pertama yang dijual. Artinya, harga pokok penjualan akan menggunakan harga dari persediaan terbaru.
Apa kelebihan metode LIFO?
Metode LIFO dapat membantu mengurangi pajak perusahaan saat harga barang meningkat, karena harga pokok penjualan yang lebih tinggi akan menurunkan laba kena pajak.
Apa kekurangan metode LIFO?
LIFO dapat membuat nilai persediaan di neraca menjadi lebih rendah dibandingkan harga pasar, dan tidak diizinkan dalam standar akuntansi IFRS.
Apakah LIFO digunakan di Indonesia?
Secara umum, LIFO tidak diperbolehkan di Indonesia karena mengacu pada standar akuntansi IFRS. Namun, konsep ini tetap dipelajari untuk kepentingan analisis dan perbandingan internasional.
Industri apa saja yang cocok menggunakan LIFO?
LIFO biasanya digunakan di industri yang memiliki harga barang cenderung naik, seperti industri minyak, logam, dan komoditas lainnya, terutama di negara yang memperbolehkannya.