
Perjalanan HPP: Dari Bahan Baku hingga Keuntungan
Dwi, seorang pengusaha muda yang baru memulai bisnis pembuatan sepatu kulit, merasa bahwa perjalanan bisnisnya baru saja dimulai. Sebagai seorang yang kreatif, ia selalu memperhatikan kualitas produk dan desain sepatu yang ia buat. Namun, ada satu tantangan yang harus ia hadapi: bagaimana menentukan harga jual yang tepat agar bisnisnya tetap menguntungkan?
Suatu hari, Dwi duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan keuangan bulanannya, dan merasa kebingungan. Meski penjualannya cukup baik, ia merasa kesulitan dalam menentukan harga jual yang sesuai dengan biaya produksi. Di situlah ia mulai menyadari pentingnya menghitung Harga Pokok Produksi (HPP)—sebuah langkah yang akan membantunya mengetahui berapa besar biaya yang harus ditanggung untuk memproduksi sepatu-sepatu tersebut.
Dwi menyadari bahwa menghitung HPP bukan hanya soal mencatat biaya bahan baku, tetapi juga mencakup biaya tenaga kerja, overhead, dan segala hal yang berkaitan dengan proses produksi. Tanpa perhitungan yang tepat, ia bisa saja menetapkan harga jual yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keuntungan atau bahkan kelangsungan bisnisnya.
Dengan tekad untuk memahami lebih dalam, Dwi memutuskan untuk memulai perjalanan ini, dan ia tahu bahwa langkah pertama adalah mempelajari cara menghitung HPP dengan benar.
Daftar Isi
- Langkah Pertama: Menghitung Bahan Baku yang Digunakan
- Langkah Kedua: Menghitung Biaya Tenaga Kerja Langsung
- Langkah Ketiga: Menghitung Biaya Overhead Produksi
- Langkah Keempat: Menghitung Total Biaya Produksi
- Langkah Kelima: Menghitung Harga Pokok Produksi (HPP)
- Langkah Keenam: Menentukan Harga Jual dan Keuntungan
- Penutup: Refleksi dan Rencana Ke Depan

Langkah Pertama: Menghitung Bahan Baku yang Digunakan
Setelah memahami pentingnya menghitung HPP, Dwi pun memulai langkah pertama dalam perhitungannya: menghitung bahan baku yang digunakan. Sebagai produsen sepatu kulit, bahan baku seperti kulit, sol, tali, dan lem adalah komponen utama yang harus dipertimbangkan dalam biaya produksi.
Dwi mulai dengan mencatat semua bahan baku yang dibeli selama bulan tersebut. Ia memiliki dua supplier utama yang memberikan harga yang berbeda untuk bahan kulit, tergantung kualitas dan jenisnya. Ia pun mulai menghitung jumlah bahan yang digunakan dalam proses produksi sepatu, termasuk bahan yang telah dipotong, dijahit, dan dirakit menjadi sepatu setengah jadi.
Namun, tidak hanya jumlah bahan yang ia perhitungkan. Dwi juga mencatat sisa bahan baku yang ada di akhir bulan, setelah proses produksi selesai. Hal ini penting karena sisa bahan baku akan berpengaruh pada biaya bahan baku yang digunakan dalam periode berikutnya. Dalam hal ini, Dwi belajar bahwa pencatatan persediaan bahan baku di awal dan akhir periode sangat membantu untuk menghitung biaya bahan baku yang benar-benar digunakan dalam produksi.
Setelah semua bahan baku tercatat, Dwi menghitung biaya bahan baku yang digunakan dengan cara menjumlahkan total pembelian bahan baku dan mengurangi sisa persediaan bahan baku yang ada. Hasil perhitungan ini memberikan gambaran yang jelas mengenai berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku yang digunakan dalam produksi sepatu pada bulan tersebut.
Dengan langkah ini, Dwi sudah memiliki pondasi yang kuat untuk melanjutkan ke perhitungan biaya produksi lainnya, seperti tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik. Dwi merasa semakin yakin bahwa dengan pencatatan yang baik, ia bisa lebih mudah mengelola biaya dan merencanakan harga jual yang tepat.
Langkah Kedua: Menghitung Biaya Tenaga Kerja Langsung
Setelah berhasil menghitung biaya bahan baku, Dwi melanjutkan langkah berikutnya dalam perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP), yaitu menghitung biaya tenaga kerja langsung. Sebagai pengusaha sepatu, Dwi mengandalkan tim produksi yang terampil untuk merakit sepatu, dari tahap pemotongan kulit hingga proses finishing.
Dwi mulai dengan mencatat jumlah jam kerja yang dilakukan oleh masing-masing karyawan yang terlibat langsung dalam proses produksi. Misalnya, ada beberapa karyawan yang bekerja di bagian pemotongan kulit, beberapa lagi di bagian perakitan, dan sebagian lagi di bagian pengepakan. Setiap jam kerja karyawan dihargai sesuai dengan upah yang sudah disepakati.
Namun, Dwi juga tahu bahwa biaya tenaga kerja tidak hanya mencakup gaji pokok. Ia harus menghitung berbagai komponen lain yang termasuk dalam biaya tenaga kerja langsung, seperti tunjangan kesehatan, asuransi, dan bonus lembur, yang bisa saja terjadi jika volume produksi meningkat. Oleh karena itu, Dwi mencatat semua biaya tambahan yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, selain gaji pokok.
Setelah mengumpulkan data mengenai jam kerja dan komponen biaya lainnya, Dwi menghitung total biaya tenaga kerja langsung dengan mengalikan jumlah jam kerja dengan upah per jam. Kemudian, ia menambahkan biaya-biaya lainnya, seperti tunjangan dan asuransi, untuk mendapatkan total biaya tenaga kerja langsung.
Dwi merasa bahwa menghitung biaya tenaga kerja langsung sangat penting agar ia bisa melihat gambaran lebih jelas tentang seberapa besar pengeluaran yang terkait dengan upah karyawan yang terlibat langsung dalam produksi. Dengan perhitungan ini, Dwi juga bisa memprediksi lebih akurat biaya produksi di masa depan, terutama saat bisnisnya berkembang dan jumlah tenaga kerja meningkat.
Setelah langkah ini selesai, Dwi siap untuk melanjutkan ke langkah berikutnya: menghitung biaya overhead produksi yang tidak langsung namun tetap berpengaruh besar terhadap total biaya produksi.
Langkah Ketiga: Menghitung Biaya Overhead Produksi
Setelah menghitung biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, Dwi melanjutkan ke langkah berikutnya: menghitung biaya overhead produksi. Biaya ini mencakup semua pengeluaran yang tidak dapat langsung dikaitkan dengan satu produk tertentu, namun tetap diperlukan untuk mendukung proses produksi. Misalnya, biaya listrik untuk mesin pemotong kulit, biaya air untuk proses pembersihan, atau biaya sewa pabrik tempat sepatu-sepatu itu diproduksi.
Dwi memulai dengan mencatat semua biaya tetap dan variabel yang terjadi selama periode produksi. Beberapa biaya, seperti sewa pabrik dan gaji supervisor produksi, bersifat tetap dan harus dibayar terlepas dari jumlah sepatu yang diproduksi. Biaya lainnya, seperti penggunaan listrik dan air, dapat bervariasi tergantung pada jumlah produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, Dwi harus memastikan untuk memisahkan biaya tetap dan variabel agar dapat menghitungnya dengan lebih akurat.
Selanjutnya, Dwi mencatat biaya-biaya yang berhubungan dengan pemeliharaan dan perbaikan mesin, pembelian alat-alat yang digunakan dalam produksi, dan biaya administrasi yang berkaitan dengan pengelolaan produksi, seperti biaya kantor dan pengawasan kualitas. Meskipun biaya-biaya ini tidak bisa langsung dihubungkan dengan setiap sepatu yang diproduksi, mereka tetap merupakan bagian penting dari keseluruhan proses produksi.
Dwi kemudian menghitung total biaya overhead produksi dengan menjumlahkan semua pengeluaran ini. Ia memastikan untuk memasukkan setiap detail, karena meskipun biaya overhead tidak selalu terlihat, mereka dapat memiliki dampak besar pada margin keuntungan.
Setelah menghitung biaya overhead, Dwi merasa semakin yakin bahwa perhitungannya sudah mencakup semua aspek yang perlu diperhatikan dalam produksi. Dengan data biaya overhead ini, ia dapat lebih mudah memperkirakan pengeluaran secara keseluruhan dan melanjutkan ke langkah berikutnya: menghitung total biaya produksi.
Langkah Keempat: Menghitung Total Biaya Produksi
Setelah menghitung biaya bahan baku yang digunakan, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead produksi, Dwi kini tiba di langkah yang sangat penting: menghitung total biaya produksi. Dengan mengetahui biaya-biaya yang sudah dihitung sebelumnya, Dwi dapat menghitung total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi sepatu-sepatunya selama periode tertentu.
Dwi mulai dengan menjumlahkan semua komponen biaya yang telah dihitung. Ia menggabungkan biaya bahan baku yang digunakan, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead produksi yang mencakup semua pengeluaran tidak langsung yang diperlukan untuk mendukung proses produksi.
Namun, Dwi juga tahu bahwa perhitungan total biaya produksi ini harus memperhatikan periode waktu tertentu. Ia memastikan bahwa semua biaya yang terkait dengan produksi pada bulan tersebut sudah tercatat dengan akurat, tanpa ada yang terlewat. Misalnya, jika ada pembelian bahan baku yang dilakukan di akhir bulan atau biaya tenaga kerja lembur yang baru muncul karena peningkatan produksi, Dwi mencatatnya dengan teliti.
Setelah menjumlahkan semua biaya tersebut, Dwi mendapatkan total biaya produksi untuk sepatu-sepatunya selama bulan itu. Ia merasa lebih tenang karena perhitungannya sudah mencakup semua aspek yang relevan dan memberikan gambaran yang jelas tentang berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk.
Dengan mengetahui total biaya produksi, Dwi kini lebih siap untuk melanjutkan ke langkah berikutnya, yaitu menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) yang akan menjadi dasar dalam menentukan harga jual sepatu dan menjaga agar bisnisnya tetap menguntungkan.
Langkah Kelima: Menghitung Harga Pokok Produksi (HPP)
Dengan total biaya produksi di tangan, Dwi melanjutkan ke langkah penting berikutnya: menghitung Harga Pokok Produksi (HPP). HPP adalah angka yang menggambarkan total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang atau jasa dalam periode tertentu, dan ini akan menjadi dasar untuk menentukan harga jual produk.
Dwi tahu bahwa untuk menghitung HPP, ia harus mempertimbangkan saldo persediaan barang dalam proses produksi, baik yang ada di awal maupun di akhir periode. Misalnya, pada awal bulan, ada beberapa sepatu yang sudah dalam tahap setengah jadi, dan beberapa bahan baku yang sudah dibeli namun belum digunakan. Begitu juga, pada akhir bulan, ada barang dalam proses yang belum selesai diproduksi.
Dwi mulai dengan menghitung saldo awal persediaan barang dalam proses yang ada pada awal bulan, serta saldo akhir persediaan yang ada di akhir bulan. Kemudian, ia menggunakan rumus berikut untuk menghitung HPP:
HPP = Total Biaya Produksi + Saldo Awal Persediaan Barang dalam Proses – Saldo Akhir Persediaan Barang dalam Proses
Dengan rumus ini, Dwi dapat menghitung berapa biaya yang sebenarnya dikeluarkan untuk memproduksi sepatu yang telah selesai. Saldo awal persediaan barang dalam proses ditambahkan karena itu adalah biaya yang sudah dikeluarkan pada periode sebelumnya, sedangkan saldo akhir persediaan barang dalam proses dikurangkan karena itu belum sepenuhnya terpakai dalam produksi.
Setelah Dwi menghitung HPP, ia merasa lebih percaya diri. Dengan mengetahui berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan setiap pasang sepatu, Dwi dapat menetapkan harga jual yang realistis, yang tidak hanya menutupi biaya produksi tetapi juga memberikan keuntungan yang sehat.
Dengan HPP yang telah dihitung, Dwi siap untuk melangkah lebih jauh dalam perencanaan bisnisnya, termasuk menentukan strategi harga dan mengelola margin keuntungan. Langkah selanjutnya adalah menentukan harga jual yang sesuai dan menghitung keuntungan dari setiap unit yang terjual.
Langkah Keenam: Menentukan Harga Jual dan Keuntungan
Dengan harga pokok produksi (HPP) yang sudah dihitung, Dwi kini berada pada langkah terakhir yang sangat penting dalam proses penentuan harga jual produk: menentukan harga jual dan menghitung keuntungan. Ini adalah tahap di mana strategi bisnis dan analisis pasar akan sangat mempengaruhi keputusan Dwi.
Dwi mulai dengan menghitung margin keuntungan yang ingin ia dapatkan dari setiap pasang sepatu. Sebagai pengusaha yang cerdas, ia tahu bahwa harga jual harus mencakup semua biaya yang telah dikeluarkan selama produksi, plus tambahan untuk keuntungan. Ia memutuskan untuk menetapkan margin keuntungan sebesar 30% untuk setiap sepatu yang dijual.
Untuk menghitung harga jual, Dwi menggunakan rumus sederhana:
Harga Jual = HPP + (HPP × Margin Keuntungan)
Misalnya, jika HPP untuk satu pasang sepatu adalah Rp 250.000 dan Dwi menginginkan margin keuntungan sebesar 30%, maka harga jual per pasang sepatu akan dihitung sebagai berikut:
Harga Jual = Rp 250.000 + (Rp 250.000 × 30%)
Harga Jual = Rp 250.000 + Rp 75.000
Harga Jual = Rp 325.000
Dengan harga jual ini, Dwi yakin bahwa ia akan memperoleh keuntungan yang cukup untuk mengembangkan bisnisnya dan menutupi biaya operasional lainnya.
Namun, Dwi juga tahu bahwa harga jual harus bersaing dengan produk sejenis di pasaran. Oleh karena itu, setelah menentukan harga jual, Dwi melakukan riset pasar untuk memastikan harga tersebut masih kompetitif dan dapat diterima oleh konsumen. Ia melihat harga sepatu sejenis di pasaran dan memastikan bahwa harga jualnya tetap berada dalam rentang yang wajar.
Dwi juga menghitung keuntungan yang akan ia dapatkan dari setiap pasang sepatu yang terjual. Dengan harga jual Rp 325.000 dan HPP Rp 250.000, keuntungan yang diperoleh dari setiap penjualan adalah:
Keuntungan = Harga Jual – HPP
Keuntungan = Rp 325.000 – Rp 250.000
Keuntungan = Rp 75.000 per pasang sepatu
Dwi merasa puas dengan perhitungannya. Ia tahu bahwa dengan harga jual yang tepat, ia tidak hanya menutupi biaya produksi, tetapi juga memperoleh keuntungan yang cukup untuk reinvestasi bisnis dan pertumbuhan di masa depan.
Dengan langkah terakhir ini, Dwi siap melanjutkan perjalanan bisnisnya dengan keyakinan penuh. Ia juga menyadari bahwa perhitungan harga jual dan keuntungan bukanlah hal yang sekali selesai—ia akan terus memantau biaya dan harga pasar untuk memastikan bisnisnya tetap berjalan dengan lancar dan menguntungkan.
Penutup: Refleksi dan Rencana Ke Depan
Setelah melalui langkah-langkah yang penuh perhitungan, Dwi kini merasa lebih percaya diri dalam menjalankan bisnis sepatu kulitnya. Ia telah belajar bagaimana menghitung biaya bahan baku, tenaga kerja langsung, biaya overhead produksi, dan akhirnya, harga pokok produksi (HPP). Dengan semua perhitungan tersebut, Dwi mampu menentukan harga jual yang wajar dan menghitung keuntungan yang dapat diperoleh dari setiap pasang sepatu yang terjual.
Namun, Dwi sadar bahwa perjalanan bisnisnya belum selesai. Ia tahu bahwa harga jual yang kompetitif dan margin keuntungan yang sehat adalah kunci untuk menjaga kelangsungan bisnisnya, tetapi hal itu hanya salah satu aspek dari keseluruhan strategi. Dwi berencana untuk terus memantau biaya dan menyesuaikan harga jual sesuai dengan perubahan biaya produksi atau tren pasar. Selain itu, ia berencana untuk memanfaatkan teknologi seperti software ERP untuk lebih efisien dalam pengelolaan biaya dan inventaris, serta mempercepat proses perhitungan keuangan.
Dwi juga mulai berpikir untuk memperluas bisnisnya dengan menawarkan varian produk baru, seperti sepatu kulit custom, yang dapat diproduksi dengan harga yang lebih fleksibel dan margin keuntungan yang lebih besar. Ia yakin bahwa perencanaan yang matang, ditambah dengan pengelolaan biaya yang tepat, akan membantu bisnisnya berkembang lebih jauh.
Bagi Anda yang juga ingin memulai perhitungan HPP untuk bisnis Anda, jangan ragu untuk mencoba menggunakan sistem ERP yang dapat membantu mengelola biaya produksi dengan lebih efisien. Dengan perencanaan yang baik, Anda dapat mengoptimalkan keuntungan dan memaksimalkan potensi bisnis Anda.
Dengan bantuan software manufaktur, seperti SAP Business One atau Acumatica, Anda bisa mulai melakukan perhitungan HPP yang lebih cepat dan akurat. Jadwalkan demo gratis dengan tim konsultan Think Tank Solusindo dan dapatkan panduan lengkap dalam menjalankan bisnis Anda dengan lebih efisien.
📞 Hubungi Kami Sekarang!
- 🖱️ Coba Demo Gratis: Klik di sini
- 📨 Email: info@8thinktank.com
- 📱 WhatsApp: +62 857-1434-5189
