
Saat Tagihan Mengendap: Kisah Ordering Cost dalam Bisnis yang Tak Terlihat
Suatu sore, Bu Rina, Procurement Manager di sebuah perusahaan distribusi elektronik, menerima panggilan dari salah satu supplier utamanya. “Bu, minggu ini sudah lima kali tim Ibu kirim purchase order untuk produk yang sama, tapi volumenya kecil-kecil. Kami mulai kesulitan atur slot pengiriman,” ujar pihak supplier dengan nada setengah mengeluh.
Bu Rina terdiam. Ia tahu timnya sedang berupaya menjaga stok agar tetap ringan dengan menggunakan metode just-in-time, tapi tak menyangka dampaknya sebesar itu. Setiap order kecil berarti biaya administrasi baru, ongkos pengiriman tambahan, dan jam kerja ekstra bagi stafnya sendiri.
Semuanya tampak wajar, sampai laporan keuangan bulan itu keluar. Biaya pembelian naik, margin laba menurun, dan tak seorang pun bisa menunjuk penyebab pastinya. Sistem manual yang mereka pakai hanya menampilkan total pengeluaran, bukan rincian di balik setiap transaksi kecil.
Dari situ, Bu Rina mulai menyadari bahwa masalahnya bukan hanya soal frekuensi pemesanan, tapi sesuatu yang lebih mendasar: ordering cost, biaya yang diam-diam menyelinap di balik setiap keputusan pembelian dan secara perlahan menggerogoti profit perusahaan.

📦 Apa Itu Ordering Cost?
Setelah kejadian itu, Bu Rina mulai menelusuri lebih dalam laporan pengadaan perusahaannya. Ia menemukan satu pola menarik: setiap kali tim melakukan pemesanan, selalu ada biaya tambahan yang menyertainya, meski nilainya kecil dan tersebar di banyak pos. Dari ongkos administrasi, komunikasi dengan supplier, proses pengecekan dokumen, hingga waktu staf yang terpakai untuk membuat purchase order. Semua itu ternyata termasuk dalam satu kategori yang disebut ordering cost.
Secara sederhana, ordering cost adalah seluruh biaya yang muncul setiap kali perusahaan melakukan pemesanan barang ke pemasok, terlepas dari jumlah barang yang dibeli. Biaya ini bisa berupa uang, waktu, maupun tenaga kerja yang dikeluarkan agar pesanan bisa diproses dan sampai ke gudang.
Beberapa komponen yang biasanya termasuk dalam ordering cost antara lain:
- ✅ Biaya administrasi pembelian (pembuatan PO, verifikasi dokumen, persetujuan internal)
- ✅ Biaya komunikasi dan koordinasi dengan supplier
- ✅ Biaya pengiriman dan handling pesanan
- ✅ Biaya inspeksi dan penerimaan barang
- ✅ Waktu kerja staf procurement dan gudang
Jika diakumulasikan, biaya-biaya kecil ini bisa menjadi signifikan, terutama jika frekuensi pemesanan tinggi atau prosesnya masih dilakukan secara manual. Itulah mengapa, meski sering diabaikan, ordering cost memiliki dampak langsung terhadap total biaya persediaan dan bahkan margin laba perusahaan.
Dalam kasus Bu Rina, setiap order kecil yang dikirim timnya sebenarnya menambah satu “paket” biaya pemesanan baru. Semakin sering mereka melakukan order, semakin besar pula total ordering cost yang harus ditanggung perusahaan, tanpa disadari, inilah yang membuat angka margin terus menurun.
🧮 Bagaimana Cara Menghitung Ordering Cost?
Untuk memahami seberapa besar pengaruhnya, Bu Rina memutuskan melakukan perhitungan sederhana. Ia ingin tahu berapa sebenarnya biaya yang dikeluarkan perusahaan setiap kali melakukan pemesanan. Setelah berkonsultasi dengan tim keuangan, ia menemukan rumus dasar yang umum digunakan dalam manajemen persediaan:
Ordering Cost = Jumlah Order per Periode × Biaya per Order
Rumus ini terlihat sederhana, tapi justru di situlah kuncinya. Misalnya, jika tim Bu Rina melakukan 30 kali pemesanan per bulan, dan setiap pemesanan menimbulkan biaya administratif, komunikasi, serta pengiriman senilai Rp400.000, maka:
Total Ordering Cost = 30 × Rp400.000 = Rp12.000.000 per bulan
Angka ini belum termasuk biaya tambahan lain seperti lembur staf atau retur barang yang sering kali tidak tercatat secara eksplisit.
Dari sini, Bu Rina menyadari bahwa semakin sering perusahaan melakukan order, semakin tinggi pula total biaya pemesanan yang ditanggung. Di sisi lain, jika perusahaan mencoba mengurangi frekuensi order dengan memesan dalam jumlah besar sekaligus, maka biaya penyimpanan (holding cost) akan meningkat. Inilah dilema klasik dalam manajemen persediaan: mencari keseimbangan antara ordering cost dan holding cost.
Untuk menemukan titik optimalnya, banyak perusahaan menggunakan pendekatan EOQ (Economic Order Quantity), sebuah metode yang membantu menentukan jumlah pemesanan ideal agar total biaya persediaan (ordering + holding cost) bisa ditekan serendah mungkin.
⚙️ Mengapa Ordering Cost Penting dalam Operasional Bisnis?
Beberapa hari setelah menghitung total biaya pemesanan, Bu Rina menatap hasilnya dengan campuran rasa tak percaya dan lega. Angka Rp12 juta per bulan mungkin tidak tampak besar dibanding total pengeluaran perusahaan, tapi ketika ia melihat tren enam bulan terakhir, polanya jelas: ordering cost terus meningkat, sementara margin laba menurun perlahan.
Selain itu, ordering cost juga berhubungan langsung dengan strategi pengendalian persediaan.
- Jika perusahaan terlalu sering melakukan order dalam jumlah kecil, biaya pemesanan membengkak.
- Sebaliknya, jika jarang memesan dan menimbun stok besar, biaya penyimpanan (holding cost) melonjak.
- Pada akhirnya, dua hal ini berperan besar dalam menentukan harga pokok penjualan (COGS) dan profit margin perusahaan.
Bagi Bu Rina, pemahaman ini menjadi titik balik. Ia mulai melihat proses pemesanan bukan sekadar kegiatan administratif, tetapi bagian penting dari strategi keuangan dan efisiensi operasional. Setiap keputusan “kapan dan berapa banyak” untuk memesan barang kini berdampak langsung pada laba bersih.
Ordering cost, yang dulunya hanya dianggap biaya kecil dan rutin, kini terbukti sebagai salah satu komponen yang menentukan dalam menjaga kesehatan finansial perusahaan.
🚧 Tantangan dalam Mengelola Ordering Cost
Setelah menemukan akar masalahnya, Bu Rina mulai mencoba menata ulang proses pembelian di perusahaannya. Tapi di lapangan, semuanya tak semudah teori. Ordering cost ternyata bukan hanya soal angka, melainkan juga tentang kebiasaan operasional, disiplin pencatatan, dan koordinasi antar tim. Ada beberapa tantangan yang kerap membuat biaya pemesanan sulit dikendalikan:
1. Pesanan Mendadak vs Pesanan Rutin
Tim penjualan sering memberi kabar mendadak: “stok menipis, pelanggan sudah menunggu!” Akhirnya, pesanan harus diproses cepat, kadang di luar jadwal rutin. Akibatnya, perusahaan membayar biaya pengiriman ekspres, lembur staf administrasi, hingga potensi retur karena order yang terburu-buru.
Pesanan mendadak seperti ini mungkin menyelamatkan penjualan jangka pendek, tapi dalam jangka panjang bisa menjadi sumber pemborosan yang tak terlihat.
2. Biaya yang Tak Terlihat
Banyak biaya pemesanan justru tidak tercatat secara eksplisit. Misalnya, waktu yang dihabiskan staf untuk mengecek ulang PO, komunikasi antar divisi, atau administrasi pembayaran vendor. Dalam sistem manual, biaya ini tersebar di berbagai pos dan sulit diukur. Akibatnya, manajer seperti Bu Rina sering salah mengira bahwa biaya pengadaan sudah efisien, padahal kenyataannya kebocoran masih terjadi di belakang layar.
3. Sistem Manual dan Data yang Tersebar
Salah satu penyebab utama sulitnya mengendalikan ordering cost adalah minimnya integrasi data. Tim procurement membuat PO di Excel, tim gudang mencatat penerimaan barang di formulir lain, sementara keuangan baru mencatat biaya setelah pembayaran selesai. Akibatnya, tidak ada satu sistem tunggal yang bisa menunjukkan total biaya per order dengan akurat. Tanpa visibilitas menyeluruh, mustahil melakukan evaluasi yang berbasis data.
4. Penurunan Margin Tanpa Penyebab yang Jelas
Bu Rina pernah menghadapi momen ketika margin perusahaan menurun padahal penjualan stabil. Setelah ditelusuri, ternyata frekuensi order meningkat tajam karena sistem reorder tidak dikontrol dengan baik. Setiap order membawa biaya tambahan yang menumpuk diam-diam. Inilah bentuk paling berbahaya dari ordering cost, menggerus profit tanpa disadari, membuat laporan keuangan tampak normal padahal efisiensi sudah bocor di banyak titik.
💡 Strategi Mengoptimalkan Ordering Cost
Setelah mengetahui apa saja penyebab dan komponennya, kini saatnya membahas bagaimana perusahaan dapat menekan ordering cost agar tidak menjadi beban tersembunyi di laporan keuangan.
✅ Gunakan sistem pembelian otomatis
Langkah paling efektif adalah beralih dari sistem manual ke sistem procurement digital atau software ERP. Misalnya, dalam SAP Business One atau Acumatica, pesanan pembelian bisa dibuat otomatis berdasarkan level stok minimum. Ini menghindari pesanan mendadak sekaligus menghemat waktu tim procurement seperti yang dialami Ibu Rina.
✅ Konsolidasi pesanan rutin
Alih-alih membuat banyak pesanan kecil, perusahaan bisa menjadwalkan pembelian dalam satu batch besar untuk periode tertentu. Metode ini menurunkan biaya administrasi, ongkos kirim, hingga waktu koordinasi dengan vendor.
✅ Evaluasi dan negosiasi dengan pemasok
Ordering cost bisa ditekan lewat hubungan jangka panjang dengan vendor yang andal. Dengan kontrak jangka menengah, harga dan jadwal pengiriman bisa distabilkan sehingga tidak ada “kejutan” di biaya logistik.
✅ Gunakan analitik untuk forecasting permintaan
Banyak perusahaan terjebak dalam pesanan mendadak karena tidak memiliki prediksi permintaan yang akurat. Sistem ERP modern memungkinkan tim procurement menganalisis tren pembelian dan kebutuhan produksi untuk meminimalkan risiko overstock atau stockout.
✅ Integrasi antar-departemen
Masalah klasik seperti data stok yang berbeda antara gudang dan purchasing sering memicu pesanan ganda. Sistem terintegrasi membantu menyatukan data inventori, keuangan, dan pembelian dalam satu platform, memastikan setiap keputusan pembelian berdasarkan data real-time.
Dengan menerapkan kelima strategi tersebut, Ibu Rina akhirnya bisa melihat hasil nyata: proses pengadaan lebih efisien, biaya lebih terkendali, dan margin perusahaan pun kembali sehat.
Kesimpulan
Perjalanan Ibu Rina di awal tadi mencerminkan kenyataan yang dihadapi banyak perusahaan: ordering cost sering kali luput dari perhatian, padahal dampaknya bisa signifikan terhadap margin keuntungan. Pesanan mendadak, sistem manual, dan biaya tersembunyi yang tidak tercatat dengan baik sering kali menjadi penyebab utama efisiensi menurun dan cash flow terganggu.
Namun, dengan dukungan software ERP terintegrasi seperti SAP Business One, Acumatica, atau SAP S/4HANA, tantangan tersebut bisa diatasi. Sistem ERP membantu otomatisasi proses pembelian, pemantauan stok, hingga analisis biaya secara real-time, sehingga tim procurement dapat membuat keputusan berbasis data dan menghindari pengeluaran yang tidak perlu.
Implementasi ERP juga memungkinkan perusahaan mengoptimalkan strategi pembelian rutin, mengurangi human error, serta meningkatkan kolaborasi antar-departemen. Hasilnya, bukan hanya efisiensi waktu dan biaya, tetapi juga transparansi keuangan yang lebih baik bagi manajemen.
💡 Jika Anda ingin melihat bagaimana ERP dapat membantu mengurangi ordering cost dan meningkatkan efisiensi pengadaan di perusahaan Anda, Think Tank Solusindo siap membantu. Tim kami menyediakan demo gratis solusi ERP terbaik yang sesuai dengan kebutuhan bisnis Anda.
💬 Hubungi kami untuk jadwalkan demo gratis dan konsultasi:
- 📨 Email: info@8thinktank.com
- 📱 WhatsApp: +62 857-1434-5189
- 🖱️ Coba Demo Gratis: Klik di sini

FAQ tentang Ordering Cost
Apa itu ordering cost?
Ordering cost adalah biaya yang timbul setiap kali perusahaan melakukan pemesanan barang atau bahan baku, baik untuk kebutuhan produksi maupun penjualan. Biaya ini mencakup administrasi, pemrosesan pesanan, pengiriman, dan inspeksi penerimaan barang.
Apa saja komponen utama dalam ordering cost?
Komponen utamanya meliputi biaya administrasi (seperti pembuatan purchase order), biaya komunikasi dengan vendor, biaya transportasi atau pengiriman, serta biaya tenaga kerja untuk pemeriksaan dan penerimaan barang.
Apa perbedaan antara ordering cost dan holding cost?
Ordering cost berkaitan dengan biaya pemesanan barang baru, sementara holding cost adalah biaya yang timbul karena menyimpan persediaan di gudang, seperti biaya sewa ruang, asuransi, dan risiko barang rusak atau usang.
Mengapa ordering cost penting bagi perusahaan?
Karena ordering cost mempengaruhi total biaya persediaan dan profitabilitas. Jika frekuensi pemesanan terlalu sering, biaya administrasi meningkat. Namun, jika jarang memesan, holding cost bisa membengkak karena stok menumpuk.
Bagaimana software ERP dapat membantu mengurangi ordering cost?
ERP membantu mengotomatiskan proses pembelian dan pemantauan stok secara real-time. Sistem ini dapat menentukan waktu pemesanan optimal, menekan biaya administratif, dan memberikan visibilitas penuh terhadap pengeluaran.