
Sunk Cost: Saat Biaya yang Sudah Keluar Justru Menghambat Keputusan Bisnis
Pak Fadli adalah pemilik jaringan restoran waralaba cepat saji yang dulu sempat viral di media sosial. Dua tahun lalu, ia memutuskan membuka cabang premium di kawasan bisnis elit Jakarta. Modalnya tidak kecil—lebih dari Rp3 miliar diinvestasikan untuk interior mewah, menu eksklusif, dan pelatihan staf dari luar negeri.
Sayangnya, beberapa bulan setelah grand opening, tren mulai berubah. Pelanggan mulai beralih ke konsep food court dan cloud kitchen. Biaya operasional membengkak, pendapatan tak sebanding. Tim keuangan dan operasional menyarankan untuk segera tutup atau mengalihfungsikan tempat tersebut menjadi gudang pusat distribusi.
Tapi Pak Fadli ragu. “Kalau kita tutup sekarang, semua uang itu sia-sia dong. Sayang sekali,” ucapnya dalam rapat manajemen. Meskipun akal sehatnya mulai goyah, perasaannya terus tertahan oleh satu hal: investasi yang sudah keluar.
Situasi ini adalah contoh klasik dari sunk cost—biaya yang sudah dikeluarkan dan tidak bisa dikembalikan, namun tetap memengaruhi pengambilan keputusan saat ini. Bagi banyak pelaku bisnis, jebakan ini bisa membuat strategi tersendat, ekspansi gagal, bahkan profit terkikis hanya karena enggan “mengakui rugi”.
Dalam artikel ini, kita akan mengupas apa sebenarnya sunk cost itu, kenapa ia begitu menggoda untuk dipertahankan, dan bagaimana cara membebaskan bisnis dari pengaruhnya agar keputusan yang diambil selalu berpijak pada masa depan, bukan masa lalu.
Daftar Isi
- Apa Itu Sunk Cost dan Bagaimana Bedanya dengan Jenis Biaya Lainnya
- Mengapa Sunk Cost Menjebak: Sunk Cost Fallacy dan Jebakan Emosional
- Dampak Sunk Cost dalam Dunia Bisnis
- Cara Menghindari Jebakan Sunk Cost: Fokus ke Masa Depan, Bukan Masa Lalu
- Kesimpulan: Saatnya Lepas dari Bayang-Bayang Sunk Cost
- Pertanyaan Umum Seputar Sunk Cost

Apa Itu Sunk Cost dan Bagaimana Bedanya dengan Jenis Biaya Lainnya
Sunk cost, secara sederhana, adalah biaya yang sudah dikeluarkan dan tidak bisa dikembalikan, terlepas dari keputusan yang akan diambil ke depan. Dalam kasus Pak Fadli, biaya renovasi restoran, pelatihan staf, dan promosi awal termasuk dalam sunk cost—uang itu sudah habis, dan keputusan menutup atau mempertahankan cabang tidak akan mengubah fakta tersebut.
Sunk cost sering disalahartikan sebagai bagian dari biaya tetap (fixed cost), padahal tidak selalu sama. Fixed cost adalah biaya yang tetap ada dalam periode tertentu (seperti sewa gedung atau gaji karyawan tetap), tetapi tidak selalu menjadi sunk cost jika masih bisa dialihkan atau dihentikan ke depannya.
Mari kita lihat klasifikasi sederhananya:
Jenis Biaya | Karakteristik | Contoh |
---|---|---|
Sunk Cost | Tidak bisa diambil kembali atau diubah | Biaya renovasi, iklan masa lalu, R&D gagal |
Fixed Cost | Tetap dalam jangka waktu tertentu, bisa dinegosiasi ke depan | Sewa kantor, gaji bulanan staf |
Variable Cost | Berubah sesuai volume produksi | Bahan baku, ongkos kirim |
Relevant Cost | Biaya yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan | Biaya tambahan untuk opsi A vs opsi B |
Irrelevant Cost | Biaya yang tidak relevan terhadap opsi keputusan yang tersedia | Biaya historis proyek, sunk cost |
Dalam pengambilan keputusan bisnis, yang seharusnya dipertimbangkan adalah relevant cost, bukan sunk cost. Tapi di dunia nyata, sering kali sunk cost justru membayangi pertimbangan rasional, karena ada unsur emosional dan psikologis yang bermain—dan inilah yang akan kita bahas selanjutnya.
Mengapa Sunk Cost Menjebak: Sunk Cost Fallacy dan Jebakan Emosional
Pak Fadli sebenarnya tahu bahwa restoran premiumnya terus merugi. Tapi ada satu kalimat yang terus menghantuinya: “Sayang kalau berhenti sekarang.” Kalimat itu terdengar wajar, bahkan manusiawi—tapi justru di sanalah letak perangkapnya. Dalam dunia psikologi dan ekonomi perilaku, ini disebut sebagai sunk cost fallacy.
Sunk cost fallacy adalah kecenderungan untuk tetap melanjutkan suatu keputusan karena telah menginvestasikan sesuatu di masa lalu—baik berupa uang, waktu, tenaga, atau reputasi. Padahal, investasi tersebut sudah tidak bisa dikembalikan, dan seharusnya tidak relevan terhadap keputusan saat ini. Tetap melanjutkan justru bisa memperbesar kerugian.
Jebakan ini tidak hanya dialami individu, tapi juga perusahaan besar, bahkan pemerintah. Kita bisa melihat contohnya dalam:
- Proyek infrastruktur besar yang diteruskan meski analisis terbaru menyatakan proyek tidak layak secara finansial.
- Pengembangan produk digital yang gagal menarik pengguna, tapi tetap dikembangkan karena sudah terlalu banyak biaya R&D yang keluar.
- Strategi pemasaran yang mahal tapi tidak efektif, tetap dijalankan karena “sudah terlanjur jalan”.
Secara psikologis, ini terjadi karena beberapa faktor:
- Loss aversion: manusia lebih takut rugi daripada berani untung.
- Personal responsibility: pengambil keputusan merasa bertanggung jawab dan tidak mau “mengakui salah”.
- Framing bias: keputusan dilihat dari kacamata masa lalu, bukan realita saat ini.
- Wishful thinking: berharap kondisi akan membaik jika diberi “sedikit lagi” waktu atau uang.
Kembali ke kisah Pak Fadli, yang sebenarnya ia butuhkan bukanlah keberanian untuk terus bertahan, tapi keberanian untuk melepaskan. Di sinilah letak kedewasaan dalam mengambil keputusan bisnis: mampu mengabaikan sunk cost, dan fokus pada apa yang masih bisa diselamatkan atau dimenangkan.
Dampak Sunk Cost dalam Dunia Bisnis
Sunk cost bukan hanya soal “kerugian masa lalu”, tapi juga soal bagaimana ia bisa mengacaukan logika bisnis ke depan. Saat keputusan-keputusan strategis dipengaruhi oleh emosi dan nostalgia terhadap biaya yang sudah keluar, perusahaan bisa:
- Terjebak dalam proyek yang tidak lagi menghasilkan.
- Menguras sumber daya pada inisiatif yang tidak kompetitif.
- Melewatkan peluang baru karena enggan menutup kerugian lama.
- Menurunkan moral tim karena mempertahankan hal yang jelas-jelas tidak efektif.
Mari kita lihat dua contoh nyata yang relevan:
🧱 1. Proyek Monorel Jakarta
Pemerintah DKI Jakarta pernah menggelontorkan dana besar untuk proyek monorel sejak awal 2000-an. Setelah bertahun-tahun progres stagnan, tiang-tiang beton proyek dibiarkan berdiri tanpa kejelasan. Meski banyak pihak menyarankan agar proyek dihentikan atau dialihkan ke bentuk transportasi lain yang lebih feasible, keputusan berlarut-larut karena pertimbangan “biaya yang sudah keluar”. Hasilnya? Waktu terbuang, dana publik terserap tanpa manfaat, dan kepercayaan publik menurun.
📱 2. Produk Smartphone Amazon Fire Phone
Amazon mengembangkan Fire Phone dengan biaya riset dan promosi yang fantastis. Tapi setelah rilis, respons pasar sangat negatif. Alih-alih menghentikan, Amazon sempat mencoba memasarkan ulang dengan diskon besar dan paket bundling. Namun akhirnya, proyek ini dihentikan dan dicatat sebagai kerugian hampir $170 juta. Jeff Bezos sendiri mengakui pentingnya “cepat gagal” dan tidak terjebak sunk cost dalam wawancara setelahnya.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa sunk cost bukan hanya teori, tapi masalah nyata yang bisa mengganggu arah bisnis—jika tidak disikapi secara objektif.
Cara Menghindari Jebakan Sunk Cost: Fokus ke Masa Depan, Bukan Masa Lalu
Menghindari sunk cost fallacy bukan berarti anti-rugi. Justru sebaliknya—itu adalah cara untuk membatasi kerugian dan memperbesar peluang. Dalam konteks bisnis, kuncinya adalah melatih pola pikir dan sistem pengambilan keputusan yang berbasis data dan rasionalitas, bukan emosi atau ego masa lalu.
Berikut beberapa cara praktis yang bisa diterapkan oleh praktisi bisnis seperti Anda:
✅ 1. Gunakan Prinsip Forward Thinking
Tanya diri sendiri: “Jika saya belum mengeluarkan apa pun, apakah saya tetap akan memilih ini hari ini?”
Jika jawabannya tidak, berarti keputusan Anda sedang dikaburkan oleh sunk cost. Latih tim untuk mengevaluasi opsi berdasarkan prospek ke depan, bukan biaya lampau.
✅ 2. Buat Batas Evaluasi di Awal
Saat memulai proyek atau investasi, tetapkan batas waktu dan indikator keberhasilan yang jelas. Jika target tidak tercapai dalam periode tertentu, beri ruang untuk menghentikan atau mengubah strategi—tanpa merasa gagal, tapi sebagai bagian dari rencana.
✅ 3. Libatkan Perspektif Eksternal
Keputusan besar kadang lebih jernih jika ada sudut pandang dari luar tim proyek. Mintalah masukan dari divisi lain, konsultan, atau mentor bisnis untuk menilai kondisi secara objektif. Mereka tidak terikat emosi atau ego terhadap biaya yang sudah dikeluarkan.
✅ 4. Pisahkan Analisis Emosional vs Finansial
Ajak tim Anda membedakan antara keinginan untuk “membuktikan bahwa keputusan lama tidak salah” dengan kebutuhan untuk “mengamankan masa depan bisnis”. Tak semua keputusan buruk berarti gagal—asal kita tahu kapan harus berhenti.
✅ 5. Jadikan Sunk Cost sebagai Pelajaran, Bukan Beban
Biaya yang sudah keluar memang tak bisa kembali, tapi bisa menjadi bahan evaluasi. Dokumentasikan keputusan-keputusan yang kurang berhasil, dan gunakan sebagai referensi agar proses ke depan jadi lebih tajam dan realistis.
Kesimpulan: Saatnya Lepas dari Bayang-Bayang Sunk Cost
Kembali ke cerita Pak Fadli—setelah melalui diskusi panjang dan evaluasi rasional, ia akhirnya memutuskan untuk menutup restoran premiumnya. Bukan karena menyerah, tapi karena ia sadar: mempertahankan yang tak lagi relevan hanya akan membebani masa depan bisnisnya. Dalam waktu enam bulan, ia mengalihfungsikan aset dan mengalihkan fokus ke ekspansi cloud kitchen yang kini justru menjadi penyumbang utama profitnya.
Sunk cost memang tak bisa dihindari dalam bisnis. Tapi bukan itu yang penting. Yang menentukan keberhasilan adalah bagaimana kita meresponsnya secara cerdas dan berani membuat keputusan berdasarkan masa depan, bukan masa lalu.
Sebagai pelaku bisnis, Anda tentu pernah menghadapi situasi serupa—apakah itu proyek yang tidak berjalan sesuai harapan, software yang tidak digunakan optimal, atau strategi yang terlalu lama dipertahankan. Saatnya bertanya: apakah keputusan hari ini masih logis, atau hanya warisan dari keputusan kemarin?
💡 Buat Keputusan Lebih Rasional dengan Dukungan Sistem yang Tepat
Untuk membantu bisnis Anda menghindari kesalahan mahal akibat sunk cost, gunakan sistem yang mampu memberikan data real-time, laporan kinerja yang terukur, dan peringatan dini saat proyek tidak sesuai target. Software ERP seperti SAP Business One atau Acumatica bisa membantu Anda dan tim membuat keputusan berbasis data, bukan emosi.
📞 Tim Think Tank Solusindo siap bantu Anda melakukan transformasi pengambilan keputusan di perusahaan Anda. Yuk, jadwalkan demo gratis dan konsultasi langsung bersama konsultan kami.
📞 Hubungi Kami Sekarang!
- 📱 WhatsApp: +62 857-1434-5189
- 🖱️ Coba Demo Gratis: Klik di sini
- 📨 Email: info@8thinktank.com

Pertanyaan Umum Seputar Sunk Cost
Apa itu sunk cost?
Sunk cost adalah biaya yang telah dikeluarkan dan tidak bisa dikembalikan, terlepas dari keputusan bisnis selanjutnya.
Mengapa sunk cost berbahaya bagi bisnis?
Karena bisa membuat bisnis mempertahankan keputusan yang merugikan hanya karena sudah terlanjur keluar biaya.
Apa perbedaan sunk cost dan fixed cost?
Fixed cost bisa tetap dikelola atau dihentikan ke depannya, sedangkan sunk cost tidak bisa diubah atau dikembalikan.
Bagaimana cara menghindari sunk cost fallacy?
Dengan fokus pada potensi masa depan, membuat batas evaluasi, dan mengambil keputusan berdasarkan data objektif.
Apakah semua kerugian adalah sunk cost?
Tidak. Kerugian baru disebut sunk cost jika biaya tersebut tidak bisa dikembalikan dan sudah terjadi di masa lalu.