
Memahami Backorder dalam Dunia Bisnis
Pak Komang, pemilik usaha peralatan pertanian di Bali, sedang menghadapi minggu yang tidak biasa. Telepon di tokonya terus berdering—bukan karena lonjakan pesanan, tapi karena keluhan pelanggan yang sudah menunggu lebih dari seminggu untuk cangkul dan pompa air yang mereka pesan. Padahal, minggu lalu gudangnya sempat penuh. Kini, barang-barang andalan justru kosong.
“Kenapa barangnya belum dikirim, Pak? Sudah kami bayar, lho,” tanya salah satu pelanggan tetapnya dengan nada kecewa.
Pak Komang hanya bisa menarik napas. Ia tahu jawabannya tidak akan menyenangkan. Barang yang dipesan belum datang dari pemasok, dan sistem stoknya yang masih manual tak mampu mengantisipasi lonjakan permintaan setelah musim tanam dimulai lebih cepat tahun ini. Tanpa ia sadari, dirinya sedang mengalami apa yang disebut para praktisi sebagai backorder.
Masalah ini tak hanya mengganggu arus kas, tapi juga perlahan menggerus kepercayaan pelanggan. Pak Komang mulai menyadari bahwa menjaga stok bukan hanya soal ketersediaan barang, tapi juga tentang menjaga kepercayaan dan keberlangsungan usahanya.
Daftar Isi

Apa Itu Backorder?
Situasi yang dialami Pak Komang sejatinya bukan hal baru dalam dunia bisnis. Dalam istilah manajemen rantai pasok, kondisi di mana pesanan pelanggan tidak dapat segera dipenuhi karena stok kosong disebut backorder. Artinya, barang yang dipesan akan dikirim belakangan, setelah persediaan tersedia kembali.
Berbeda dengan kondisi out of stock yang menandakan ketiadaan barang dan ketidakpastian kapan produk akan tersedia, backorder menyiratkan bahwa barang memang belum tersedia sekarang, namun akan dipenuhi dalam waktu dekat. Dalam beberapa kasus, pelaku bisnis tetap mencatat penjualan dan menjanjikan pengiriman di kemudian hari, begitu stok masuk kembali ke gudang.
Bagi banyak usaha, backorder bisa menjadi indikator positif—bahwa produk laris dan permintaan tinggi. Namun tanpa sistem pengelolaan stok yang baik, kondisi ini bisa berbalik menjadi bumerang. Itulah mengapa memahami backorder penting, bukan hanya untuk mencegah kehilangan penjualan, tetapi juga untuk merancang strategi pemenuhan pesanan yang lebih andal.
Pak Komang sendiri baru benar-benar memahami istilah ini setelah berkonsultasi dengan rekan sesama pengusaha dan mulai mengevaluasi sistem inventarisnya. Dari sanalah ia mulai menyadari bahwa solusi dari masalahnya bukan sekadar menambah stok, tetapi juga memahami penyebab munculnya backorder.
Penyebab Terjadinya Backorder
Setelah mengalami langsung dampaknya, Pak Komang mulai menelusuri akar masalah. Ia pun menemukan bahwa backorder bukan hanya disebabkan oleh satu hal, melainkan bisa berasal dari kombinasi berbagai faktor.
1. Peramalan Permintaan yang Tidak Akurat
Salah satu penyebab utama adalah kesalahan dalam memperkirakan permintaan. Pak Komang, misalnya, tidak menyangka bahwa musim tanam tahun ini datang lebih cepat akibat perubahan cuaca. Karena tidak ada data historis yang dianalisis secara menyeluruh, ia pun telat melakukan pemesanan ke pemasok. Akibatnya, stok cepat habis tanpa ada cadangan.
2. Masalah dalam Produksi atau Suplai
Kadang bukan hanya kesalahan di internal. Salah satu pemasok Pak Komang ternyata mengalami kendala produksi karena gangguan mesin. Ada juga bahan baku yang terlambat datang dari luar negeri. Dalam kondisi seperti ini, meskipun permintaan bisa diprediksi dengan baik, ketersediaan barang tetap terganggu karena kendala di pihak ketiga.
3. Keterlambatan Pengiriman Logistik
Di sisi lain, rantai distribusi juga bisa menjadi sumber masalah. Truk pengangkut yang biasa memasok barang ke gudang Pak Komang sempat tertahan karena adanya perbaikan jalan utama. Barang yang seharusnya datang tiga hari lalu pun tak kunjung tiba. Ini memperpanjang waktu tunggu pelanggan, memperburuk kondisi backorder.
4. Lonjakan Permintaan Mendadak
Terakhir, lonjakan permintaan yang tiba-tiba dan tidak terduga juga bisa memicu backorder. Contohnya, saat salah satu konten viral di media sosial menunjukkan cara inovatif menggunakan alat pertanian tertentu, permintaan atas produk tersebut melonjak drastis. Pak Komang tak punya cukup stok untuk mengikuti tren tersebut.
Dari berbagai penyebab ini, Pak Komang belajar satu hal penting: menghindari backorder bukan hanya soal menambah stok, melainkan tentang membangun sistem yang responsif terhadap perubahan pasar, produksi, dan logistik.
Dampak Backorder terhadap Bisnis
Pak Komang awalnya mengira bahwa pelanggan akan maklum jika pengiriman terlambat beberapa hari. Namun kenyataannya tak semudah itu. Semakin lama daftar pesanan tertunda menumpuk, semakin banyak pula dampak negatif yang dirasakannya.
1. Kehilangan Kepercayaan Pelanggan
Beberapa pelanggan mulai ragu untuk melakukan pemesanan ulang. “Kalau besok-besok harus nunggu lagi, saya cari di tempat lain saja ya, Pak,” ujar salah satu petani langganannya. Dalam dunia bisnis, kehilangan kepercayaan pelanggan bisa jauh lebih mahal dibanding kehilangan satu penjualan. Backorder yang tak tertangani dengan baik membuat pelanggan merasa tidak dihargai.
2. Penurunan Reputasi Bisnis
Kabar tentang layanan lambat menyebar cepat, terutama di komunitas lokal yang erat. Reputasi toko Pak Komang sempat tercoreng. Bahkan ada komentar miring di media sosial dari pelanggan yang merasa kecewa. Dalam era digital, satu ulasan negatif bisa memengaruhi keputusan banyak calon pembeli.
3. Biaya Operasional yang Meningkat
Setiap pesanan tertunda berarti ada proses ekstra: mencatat, menghubungi pelanggan, menyesuaikan jadwal pengiriman, hingga menanggung biaya logistik ganda. Pak Komang mulai menyadari bahwa mengurus backorder bisa menyita banyak waktu dan tenaga timnya. Belum lagi potensi kerugian karena barang yang datang terlambat tidak langsung menghasilkan pendapatan.
4. Disrupsi Rantai Pasok Internal
Backorder juga menyebabkan kekacauan dalam pengelolaan gudang. Barang datang dalam waktu yang tidak seragam, membuat sistem penyimpanan menjadi semrawut. Tim gudang harus memilah antara pesanan baru dan pesanan tertunda, meningkatkan risiko kesalahan pengiriman.
Melalui pengalaman pahit ini, Pak Komang semakin menyadari bahwa backorder bukan sekadar masalah kekosongan stok. Ia adalah ujian nyata bagi ketahanan operasional bisnis. Dan jika tidak ditangani dengan strategi yang tepat, dampaknya bisa menjalar ke berbagai lini usaha.
Strategi Mengelola dan Mengurangi Backorder
Setelah melihat betapa seriusnya dampak backorder terhadap bisnisnya, Pak Komang tidak tinggal diam. Ia mulai mencari solusi—tidak hanya untuk menyelesaikan masalah sementara, tetapi juga untuk mencegah hal serupa terjadi di masa depan. Berikut adalah beberapa langkah yang ia terapkan:
1. Meningkatkan Akurasi Peramalan Permintaan
Pak Komang mulai menggunakan data penjualan tahun-tahun sebelumnya untuk membuat prediksi musiman. Ia juga lebih aktif memantau tren cuaca dan kalender tanam petani. Dengan peramalan yang lebih akurat, ia bisa menentukan kapan saat yang tepat untuk menambah stok.
2. Menggunakan Sistem Inventaris Digital
Selama ini, Pak Komang masih mencatat stok secara manual. Kini, ia mulai menggunakan software manajemen inventaris yang bisa memantau stok secara real-time, memberikan notifikasi saat stok minimum tercapai, dan mempermudah pelacakan barang. Sistem ini membuatnya lebih cepat mengambil keputusan sebelum barang benar-benar habis.
3. Menjalin Komunikasi Lebih Baik dengan Pemasok
Pak Komang sadar bahwa hubungan baik dengan pemasok juga krusial. Ia mulai menjalin komunikasi lebih aktif, bahkan membuat kesepakatan pengiriman reguler. Beberapa produk ia pesan dalam sistem safety stock—stok cadangan yang hanya digunakan saat permintaan melonjak.
4. Memberikan Informasi Transparan ke Pelanggan
Alih-alih diam saat terjadi keterlambatan, kini Pak Komang lebih terbuka. Ia memberi informasi estimasi waktu pengiriman saat terjadi backorder, bahkan menawarkan diskon kecil atau bonus produk sebagai kompensasi. Pelanggan pun merasa lebih dihargai dan bersedia menunggu.
5. Evaluasi Rantai Pasok secara Berkala
Terakhir, ia mulai mengevaluasi keseluruhan rantai pasok: dari pemasok, logistik, hingga proses di gudangnya sendiri. Langkah ini membantu mengidentifikasi titik lemah yang sebelumnya luput dari perhatian.
Dalam waktu tiga bulan, hasilnya mulai terlihat. Jumlah pesanan tertunda menurun drastis, dan pelanggan yang sebelumnya sempat kecewa kini kembali berbelanja. Pak Komang pun menyadari bahwa mengelola backorder bukan sekadar merespons masalah, tapi soal membangun sistem yang adaptif dan tangguh.
Studi Kasus: Sukses Mengatasi Backorder
Tiga bulan setelah membereskan kekacauan backorder, bisnis Pak Komang menunjukkan perubahan signifikan. Ia tidak hanya berhasil menekan jumlah pesanan tertunda, tetapi juga meningkatkan loyalitas pelanggan dan efisiensi operasional.
Salah satu perubahan paling mencolok terjadi pada saat musim tanam berikutnya. Kali ini, Pak Komang sudah siap. Ia telah menyusun kalender permintaan, memastikan stok alat-alat pertanian seperti cangkul, sprayer, dan selang air tersedia dalam jumlah cukup. Bahkan ketika terjadi lonjakan permintaan karena promosi di media sosial lokal, ia tidak kewalahan.
Dengan bantuan software inventaris, ia bisa melihat stok secara real-time, mengatur ulang pengiriman dari pemasok secara cepat, dan memberi notifikasi otomatis kepada tim jika stok mendekati batas minimum. Proses yang sebelumnya membutuhkan waktu berjam-jam kini bisa diselesaikan dalam hitungan menit.
Tidak hanya itu, transparansi yang ia bangun dengan pelanggan membuahkan hasil positif. Banyak pelanggan justru merasa lebih percaya karena selalu diberi kabar tentang status pesanan. Bahkan, ada yang secara sukarela memesan lebih awal agar tidak kehabisan.
Berkat perubahan strategi ini, omzet Pak Komang naik 15% dalam satu kuartal. Ia pun mulai merancang cabang baru di kabupaten sebelah, dengan sistem operasional yang telah diperbarui.
Kisah Pak Komang menunjukkan bahwa tantangan seperti backorder bisa menjadi titik balik penting. Asal ditangani dengan strategi yang tepat, masalah ini bisa menjadi peluang untuk tumbuh lebih kuat.
Kesimpulan: Backorder Bukan Akhir, Tapi Awal Inovasi
Kisah Pak Komang menjadi cerminan nyata bahwa backorder bukan sekadar hambatan dalam rantai pasok, tapi juga pengingat bahwa bisnis harus terus adaptif dan inovatif. Ketika pesanan pelanggan tak bisa dipenuhi tepat waktu, yang diuji bukan hanya sistem stok, tapi juga kemampuan pemilik usaha untuk merespons secara cerdas dan bijak.
Dalam dunia bisnis yang bergerak cepat, backorder bisa terjadi kapan saja. Namun, dengan strategi yang tepat—mulai dari digitalisasi inventaris, perencanaan permintaan, hingga komunikasi yang jujur kepada pelanggan—tantangan ini bisa diubah menjadi momentum perbaikan.
Seperti Pak Komang, Anda pun bisa membawa bisnis menuju sistem yang lebih efisien dan responsif.
🚀 Ingin Bisnis Anda Bebas dari Masalah Backorder?
Coba demo gratis software ERP dari Think Tank Solusindo—mulai dari SAP Business One, Acumatica, hingga solusi industri lainnya yang terbukti membantu pengusaha seperti Pak Komang dalam mengelola stok dan rantai pasok dengan lebih efektif.
💬 Hubungi tim konsultan kami untuk diskusi lebih lanjut dan jadwalkan demo sesuai kebutuhan bisnis Anda!
📞 Hubungi Kami Sekarang!
- 🖱️ Coba Demo Gratis: Klik di sini
- 📨 Email: info@8thinktank.com
- 📱 WhatsApp: +62 857-1434-5189

Pertanyaan Umum Seputar Backorder
Apa itu backorder dalam konteks bisnis?
Backorder adalah kondisi di mana pesanan dari pelanggan tidak dapat segera dipenuhi karena stok barang habis, namun pengiriman tetap dijadwalkan setelah stok tersedia kembali.
Apakah backorder sama dengan out of stock?
Tidak. Out of stock berarti barang benar-benar tidak tersedia dan tidak ada kepastian kapan bisa tersedia lagi. Sementara backorder menunjukkan barang akan tersedia dalam waktu tertentu dan tetap akan dikirim ke pelanggan.
Apa penyebab umum terjadinya backorder?
Beberapa penyebab umum antara lain: peramalan permintaan yang tidak akurat, keterlambatan pasokan, lonjakan permintaan mendadak, atau kendala dalam proses distribusi.
Apa dampak backorder bagi bisnis?
Backorder dapat menurunkan kepercayaan pelanggan, mengganggu reputasi bisnis, meningkatkan biaya operasional, serta menimbulkan disrupsi dalam pengelolaan gudang dan rantai pasok.
Bagaimana cara mengurangi risiko backorder?
Beberapa strategi efektif antara lain: menggunakan software inventaris, memperbaiki sistem peramalan, menjalin komunikasi intens dengan pemasok, serta menjaga transparansi dengan pelanggan.